Jalan berlubang, bergelombang, becek dan berlumpur saat musim hujan serta berdebu di kala kemarau beberapa tahun terakhir makin berkurang. Sejak Pemerintah kabupaten demak memprioritaskan pembangunan jalan berbasis beton bertulang, sejumlah jalan di kabupaten demak terlihat baik. Penggunaan beton sebagai struktur bangunan jalan, dikarenakan kondisi tanah di kabupaten demak labil, apabila menggunakan hot mix aspal dikhawatirkan akan cepat rusak. Tak hanya sebagian jalan antar kecamatan yang menggunakan beton, sebagaian jalan di sejumlah desa juga mulai ditutup campuran pasir batu dan semen. kini sebagian jalan dapat dilalui dengan nyaman tanpa gangguan debu, lumpur, atau genangan air.
Penggunaan beton tersebut ternyata tidak murah, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai tiga kali lipatnya bila dibandingkan dengan menggunakan hotmix. Tentu saja ini menyedot banyak dana APBD kabupaten demak. Akibatnya dana yang dimiliki oleh kabupaten miskin PAD (Pendaptan Asli Daerah) ini, tidak meng-cover seluruh jalan yang ada di kabupaten demak. Butuh waktu lama untuk bisa mencapai semua jalan yang ada di pelosok demak. Barangkali 3 kali puasa dan 3 kali lebaran tidak akan selesai.
Menyalakan Lilin dalam Gelap
Bila kita membaca sms "Pye Jal" di Koran Lokal Jawa tengah pada kolom demak, tidak sedikit warga demak yang tidak sabar dan tidak mau tahu dengan kondisi keuangan daerahnya. mereka bisanya hanya mengumpat dalam gelap. "Pak bupati demak, jalan di desa ****** rusak parah, kapan diperbaiki".
Menunggu pemerintah membagi-bagikan kue anggaran yang jumlahnya cuma sedikit, hanya akan membuat kita menelan pil pahit kekecewaan. Untuk jalan desa, alangkah baiknya bila warga melakukan swadaya membangun jalan desa, meskipun dari pusat ada anggaran yang namanya PPK (program Pengembangan Kecamatan), ADD (Alokasi Dana Daerah). Akan tetapi seperti yang telah disebutkan di atas, harus menunggu bertahun-tahun baru akan terbagi secara merata.
Swadaya adalah solusi untuk mempercepat pembangunan desa. Di tengah sedikitnya dana yang dimiliki pemerintah, warga seyogyanya dengan sukarela mengeluarkan uang dan tenaga membangun desanya agar desanya menjadi lebih baik. Toh nanti manfaatnya akan dirasakan sendiri oleh warga. Seperti yang telah dilakukan oleh warga di beberapa kampung di desa wonoketingal kecamatan karanganyar. Warga yang jalan kampungnya belum bisa di beton oleh pemerintah, berinisiatif sendiri dengan biaya dan tenaga sendiri membangun jalan kampungnya. Beberapa kini sudah menikmati jalan kampung yang dibeton dengan dana sendiri, beberapa lainya sedang melakukan pembangunan, dan yang lainnya lagi baru mengumpulkan uang swadaya. Tapi ada juga yang tidak mau iuran dengan berbagai alasan.
Ada beberapa cara iuran agar penarikan dana dari warga tidak dirasa memberatkan. Antar lain iuran dilakukan setiap sebulan sekali sebesar 10 ribu per rumah/pekarangan, kemudian saat panen raya iuran 100 ribu, lalu iuran dengan nominal yang besarnya didasarkan pada panjang jalan yang melalui rumah atau perkarangan warga, bila jalan yang ada di depan rumah seorang warga panjangnya 15 meter, maka warga tersebut harus membayar 15 dikali nominal iuran per meter yang di sepakati.
Mengajak warga untuk mengeluarkan uang dan tenaga tidaklah mudah. Banyak kendala yang menghadang, terutama beratnya warga merogoh kocek untuk hal yang satu ini. Tapi kunci agar warga mau mengeluarkan uang dan tenaga secara sukarela adalah "kesadaran warga". Warga diberi penjelasan agar sadar betul bahwa iuran yang dilakukan itu pada dasarnya bermanfaat bagi warga sendiri.
Gotong Royong Modal Besar Pembangunan
Bila kita menilik pada tradisi masyarakat desa di jawa, swadaya bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Budaya gotong royong yang di jawa populer dengan istilah sambatan telah lama melekat dalam masyarakat jawa. Tradisi sambatan ini bisa mendorong masyarakat melakukan pembangunan desa secara swadaya, tidak bergantung pada pemerintah atau bantuan orang luar.
Kegiatan masyarakat yang syarat dengan budaya sambatan, akan mudah ditemui di desa-desa. Antara lain: Membangun tempat ibadah, memperbaiki jalan dan aliran sungai, peberantasan hama seperti tikus, bersih-bersih desa, dll. Sehingga tidak mengherankan bila ada pemberitaan di media bahwa di demak ada banyak bangunan masjid yang nilainya milyaran rupiah dengan dibiayai sendiri oleh warganya, tanpa mengajukan proposal ke sana kemari.
Budaya sambatan ini sebaiknya dijaga dan dikelola dengan baik oleh pemerintah demak. Karena di tengah minimnya anggaran, sumberdaya masyarakat yang luar biasa ini akan menjadi penggerak pembangunan di desa-desa. Tinggal kemampuan pemerintah untuk bisa mengelola dan mengarahkannya. Pemerintah harus memberi apresiasi pada masyarakat, agar masyarakat mau mempertahankan budaya ini. Terutama di era globalisasi sekarang ini, yang secara langsung maupun tidak langsung mengikis budaya sambatan dengan budaya-budaya dan isme-isme yang negatif.
Penggunaan beton tersebut ternyata tidak murah, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai tiga kali lipatnya bila dibandingkan dengan menggunakan hotmix. Tentu saja ini menyedot banyak dana APBD kabupaten demak. Akibatnya dana yang dimiliki oleh kabupaten miskin PAD (Pendaptan Asli Daerah) ini, tidak meng-cover seluruh jalan yang ada di kabupaten demak. Butuh waktu lama untuk bisa mencapai semua jalan yang ada di pelosok demak. Barangkali 3 kali puasa dan 3 kali lebaran tidak akan selesai.
Menyalakan Lilin dalam Gelap
Bila kita membaca sms "Pye Jal" di Koran Lokal Jawa tengah pada kolom demak, tidak sedikit warga demak yang tidak sabar dan tidak mau tahu dengan kondisi keuangan daerahnya. mereka bisanya hanya mengumpat dalam gelap. "Pak bupati demak, jalan di desa ****** rusak parah, kapan diperbaiki".
Menunggu pemerintah membagi-bagikan kue anggaran yang jumlahnya cuma sedikit, hanya akan membuat kita menelan pil pahit kekecewaan. Untuk jalan desa, alangkah baiknya bila warga melakukan swadaya membangun jalan desa, meskipun dari pusat ada anggaran yang namanya PPK (program Pengembangan Kecamatan), ADD (Alokasi Dana Daerah). Akan tetapi seperti yang telah disebutkan di atas, harus menunggu bertahun-tahun baru akan terbagi secara merata.
Swadaya adalah solusi untuk mempercepat pembangunan desa. Di tengah sedikitnya dana yang dimiliki pemerintah, warga seyogyanya dengan sukarela mengeluarkan uang dan tenaga membangun desanya agar desanya menjadi lebih baik. Toh nanti manfaatnya akan dirasakan sendiri oleh warga. Seperti yang telah dilakukan oleh warga di beberapa kampung di desa wonoketingal kecamatan karanganyar. Warga yang jalan kampungnya belum bisa di beton oleh pemerintah, berinisiatif sendiri dengan biaya dan tenaga sendiri membangun jalan kampungnya. Beberapa kini sudah menikmati jalan kampung yang dibeton dengan dana sendiri, beberapa lainya sedang melakukan pembangunan, dan yang lainnya lagi baru mengumpulkan uang swadaya. Tapi ada juga yang tidak mau iuran dengan berbagai alasan.
Ada beberapa cara iuran agar penarikan dana dari warga tidak dirasa memberatkan. Antar lain iuran dilakukan setiap sebulan sekali sebesar 10 ribu per rumah/pekarangan, kemudian saat panen raya iuran 100 ribu, lalu iuran dengan nominal yang besarnya didasarkan pada panjang jalan yang melalui rumah atau perkarangan warga, bila jalan yang ada di depan rumah seorang warga panjangnya 15 meter, maka warga tersebut harus membayar 15 dikali nominal iuran per meter yang di sepakati.
Mengajak warga untuk mengeluarkan uang dan tenaga tidaklah mudah. Banyak kendala yang menghadang, terutama beratnya warga merogoh kocek untuk hal yang satu ini. Tapi kunci agar warga mau mengeluarkan uang dan tenaga secara sukarela adalah "kesadaran warga". Warga diberi penjelasan agar sadar betul bahwa iuran yang dilakukan itu pada dasarnya bermanfaat bagi warga sendiri.
Gotong Royong Modal Besar Pembangunan
Bila kita menilik pada tradisi masyarakat desa di jawa, swadaya bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Budaya gotong royong yang di jawa populer dengan istilah sambatan telah lama melekat dalam masyarakat jawa. Tradisi sambatan ini bisa mendorong masyarakat melakukan pembangunan desa secara swadaya, tidak bergantung pada pemerintah atau bantuan orang luar.
Kegiatan masyarakat yang syarat dengan budaya sambatan, akan mudah ditemui di desa-desa. Antara lain: Membangun tempat ibadah, memperbaiki jalan dan aliran sungai, peberantasan hama seperti tikus, bersih-bersih desa, dll. Sehingga tidak mengherankan bila ada pemberitaan di media bahwa di demak ada banyak bangunan masjid yang nilainya milyaran rupiah dengan dibiayai sendiri oleh warganya, tanpa mengajukan proposal ke sana kemari.
Budaya sambatan ini sebaiknya dijaga dan dikelola dengan baik oleh pemerintah demak. Karena di tengah minimnya anggaran, sumberdaya masyarakat yang luar biasa ini akan menjadi penggerak pembangunan di desa-desa. Tinggal kemampuan pemerintah untuk bisa mengelola dan mengarahkannya. Pemerintah harus memberi apresiasi pada masyarakat, agar masyarakat mau mempertahankan budaya ini. Terutama di era globalisasi sekarang ini, yang secara langsung maupun tidak langsung mengikis budaya sambatan dengan budaya-budaya dan isme-isme yang negatif.
COMMENTS