Susahnya menjadi seorang petani membuat para pemuda anak para petani tidak melirik potensi pertanian. Dengan lahan garapan yang dimiliki makin sempit karena pembagian waris, membuat lahan sawah tak menjanjikan hasil banyak. Sejak kecil mereka diajari agar tidak meneruskan profesi orang tuanya. Kondisi yang susah memaksa mereka lebih memilih kerja kantoran, menjadi pegawai negeri, buruk industri pabrik atau merantau keluar daerah bahkan luar negeri.
Namun dibalik semua itu jika jeli melihatnya, ada peluang besar di dunia pertanian. Adalah Hermas E Prabowo seorang kolumis kompas menceritakan pertemuannya dengan pemuda petani-pengusaha. Saat banyak anak muda meninggalkan sawah, petani-pengusaha yang masih muda ini justru kembali ke sawah. Dia memang tidak punya sawah sendiri, kalaupun ada, luasnya kurang dari setengah hektar warisan orang tuanya.
Pendekatan baru dia lakukan. Tidak tanggung tanggung-tanggung, dia menyewa 24 Hektar sawah di Kabupaten Batang Jawa Tengah. Dia meminjam uang dari bank Rp 1 Milyar. Dari uang itu, Rp 500 Juta dipakai untuk investasi mesin penggilingan dengan lantai jemur. Sebesaar Rp 300 juta untuk sewa lahan dan modal budi daya. Selebihnya untuk menebas gabah petani.
Perhitungan bisnisnya serderhana . Produksi padi tiap hektar sawahnya ditargertkan 6 ton gabah kering giling (GKG). Setahun dia paksa menanam padi tiga kali. Dengan begitu, produksi perhektarnya 18 ton GKG.
Karena mesin penggilingannya baru dan modern, rendemen gabah ke beras bisa 65 persen. dengan kata lain untuk 18 ton GKG bisa diolah menjadi 11,7 ton beras. Dari jumlah itu, dia targetkan memproduksi beras premium 60 persen dan sisanya medium. Dengan harga beras rata-rata Rp 7.000 per kilogram, untuk 11,7 ton akan menghasilkan uang Rp 81,9 Juta.
Karena dia mengusahakan lahan 24 Hektar, pendapatan kotor setahun Rp, 1,9 milyar. Dengan memperhitungkan biaya produksi maksimal 40 persen, keuntungan bersih masih di atas Rp 1 milyar. Belum lagi mesin penggilingannya masih menghasilkan katul yang dijual Rp 2.000 per kilogram. Juga pendapatan dari jawa penggilingan dan pengolahan gabah. hasil tebasan petani.
Bisnis memang ada risiko, termasuk kalau gagal panen. Namun resiko itu bisa diperkecil, dan dia tidak mau terhambat berbisnis hanya karena ada risiko.
Usaha tani padi sekarang mengalami pergeseran, anak-anak muda berpikiran bisnis mulai masuk ke sawah, tetapi mereka datang tidak sebagai buruh tani. Pendekatan usaha tani tradisional disingkirkan jauh-jauh. Mereka murni berbisnis. Apalagi kebutuhan pangan dan harganya terus-menerus meningkat tiap tahun. Ini dipandang sebagai bisnis yang prospek.
Timbul kesadaran di kalangan anak muda yang melek bisnis, bahwa jika dikelola dengan baik pertanian akan menjadi hamparan hijau yang menjanjikan tumpukan rupiah. Ditangan mereka tanpa disuruh produktivitas padi akan digenjot setinggi-tingginya, sentuhan teknologi digunakan, prinsip-prinsip ekonomi juga mereka kembangkan secara maksimal.
Kawan saya yang berasal dari pati, dimana dia sudah mapan di kota. kembali ke kampung mencoba peruntungan agrobisnis. Apakah anda tergugah pulang kampung terjun ke sawah??
Referensi: Prabowo, E Hermas. Kompas Edisi 8 Juni 2012
Namun dibalik semua itu jika jeli melihatnya, ada peluang besar di dunia pertanian. Adalah Hermas E Prabowo seorang kolumis kompas menceritakan pertemuannya dengan pemuda petani-pengusaha. Saat banyak anak muda meninggalkan sawah, petani-pengusaha yang masih muda ini justru kembali ke sawah. Dia memang tidak punya sawah sendiri, kalaupun ada, luasnya kurang dari setengah hektar warisan orang tuanya.
Pendekatan baru dia lakukan. Tidak tanggung tanggung-tanggung, dia menyewa 24 Hektar sawah di Kabupaten Batang Jawa Tengah. Dia meminjam uang dari bank Rp 1 Milyar. Dari uang itu, Rp 500 Juta dipakai untuk investasi mesin penggilingan dengan lantai jemur. Sebesaar Rp 300 juta untuk sewa lahan dan modal budi daya. Selebihnya untuk menebas gabah petani.
Perhitungan bisnisnya serderhana . Produksi padi tiap hektar sawahnya ditargertkan 6 ton gabah kering giling (GKG). Setahun dia paksa menanam padi tiga kali. Dengan begitu, produksi perhektarnya 18 ton GKG.
Karena mesin penggilingannya baru dan modern, rendemen gabah ke beras bisa 65 persen. dengan kata lain untuk 18 ton GKG bisa diolah menjadi 11,7 ton beras. Dari jumlah itu, dia targetkan memproduksi beras premium 60 persen dan sisanya medium. Dengan harga beras rata-rata Rp 7.000 per kilogram, untuk 11,7 ton akan menghasilkan uang Rp 81,9 Juta.
Karena dia mengusahakan lahan 24 Hektar, pendapatan kotor setahun Rp, 1,9 milyar. Dengan memperhitungkan biaya produksi maksimal 40 persen, keuntungan bersih masih di atas Rp 1 milyar. Belum lagi mesin penggilingannya masih menghasilkan katul yang dijual Rp 2.000 per kilogram. Juga pendapatan dari jawa penggilingan dan pengolahan gabah. hasil tebasan petani.
Bisnis memang ada risiko, termasuk kalau gagal panen. Namun resiko itu bisa diperkecil, dan dia tidak mau terhambat berbisnis hanya karena ada risiko.
Usaha tani padi sekarang mengalami pergeseran, anak-anak muda berpikiran bisnis mulai masuk ke sawah, tetapi mereka datang tidak sebagai buruh tani. Pendekatan usaha tani tradisional disingkirkan jauh-jauh. Mereka murni berbisnis. Apalagi kebutuhan pangan dan harganya terus-menerus meningkat tiap tahun. Ini dipandang sebagai bisnis yang prospek.
Timbul kesadaran di kalangan anak muda yang melek bisnis, bahwa jika dikelola dengan baik pertanian akan menjadi hamparan hijau yang menjanjikan tumpukan rupiah. Ditangan mereka tanpa disuruh produktivitas padi akan digenjot setinggi-tingginya, sentuhan teknologi digunakan, prinsip-prinsip ekonomi juga mereka kembangkan secara maksimal.
Kawan saya yang berasal dari pati, dimana dia sudah mapan di kota. kembali ke kampung mencoba peruntungan agrobisnis. Apakah anda tergugah pulang kampung terjun ke sawah??
Referensi: Prabowo, E Hermas. Kompas Edisi 8 Juni 2012
Kerean mas..." mau coba tp yg kecil2 dulu.
BalasHapus