Saya tidak tahu sejak kapan motif ekonomi menyusup ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, hampir-hampir tak ada ruang yang tak diisi dengan motif ekonomi,bahkan sampai ke ranah yang motif ekonomi seharusnya taboo memasukinya. Setelah pendidikan dan kesehatan, kini bidang sosial dan budaya menjadi ranah yang tak luput dari godaan manis kapitalis.
Gencarnya pemerintah menggenjot sektor pariwisata akhir-akhir ini turut membuka sedikit demi sedikit ruang-ruang yang tadinya haram bagi motif ekonomi untuk bisa dimasuki agenda agenda kapitalis. Hal ini juga di-makmum-i oleh masyarakat dengan wacana-wacana peningkatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di mana salah satu ide kreatifnya dengan cara bagaimana me-monetize kebudayaan.
Lilitan dan jerat kesulitan ekonomi memberi stempel sah atas tindakan tersebut. Dan masyarakat yang tertekan ekonominya merasa mendapat angin segar karena beban berat di pundaknya bisa terangkat. Sehingga hal ini menjadi mafhum dan wajar - wajar saja bagi masyarakat serta tidak ada yang salah. Ya tidak ada yang salah sepanjang itu untuk kepentingan dan kebaikan masyarakat.
Dalam istilah biologi jaman SMP dulu saya pernah mendengar istilah "simbiosis mutualisme", saya mengartikannya "kerjasama saling menguntungkan". Itu istilah yang saya pakai untuk menggambarkan komersialisasi budaya. Jika anda punya istilah yang tepat, kasih tahu saya ya... kenapa saya katakan simbiosis mutualisme? Kita tentu sering mendengar bahwa banyak hasil seni budaya dan tradisi yang ada di masyarakat kian terkubur. Banyak yang dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat. Beruntung ada kapitalis dengan motif ekonominya menjadi dewa penyelamat agar tradisi, seni, dan budaya itu tetap hidup. Ya ... budaya menjadi tetap hidup karena motif ekonomi bisa masuk di dalamnya. Dan ketika tradisi, seni dan budaya dipandang tak bisa bermanfaat secara ekonomi, ya tamatlah..
Benarkah hal itu akan selalu menjadi "simbiosis mutualisme"? menurut saya itu tergantung sejauh dan sekuat apa masyarakat mengawalnya. Sebab kecenderungan rakus yang dimiliki oleh kapitalis dan potensi nafsu yang ada pada masyarakat bisa mendorong ke arah yang buruk bagi masyarakat. Tradisi, seni, dan budaya identik dengan pemenuhan kebutuhan psiko sosial dan spiritual. sementara ekonomi cenderung ke arah materialistik. Dimana mengawinkan keduanya adalah hal yang sulit, satu sama lain saling mengendalikan. Celakanya akhir akhir ini motif ekonomi cenderung menguasai. Tak jarang demi mendongkrak keuntungan ekonomi, mengorbankan pakem-pakem pokok dan tujuan mulia sebuah tradis dan budaya sehingga kebutuhan masyarakat dalam aspek psikososial dan spiritual terabaikan. Caranya dengan apa yang disebut improvisasi, kreatifitas, dan inovasi. Hal itu bisa kita lihat di sekitar kita.
Gerebeg Besar
Gerebeg Besar salah satu tradisi yang selalu dibangga - banggakan oleh masyarakat Demak, sepertinya tidak luput dari "komersialisasi"."Pihak EO harus setor sekian ratus juta ke pemerintah kalo mau mengelola pasar rakyat grebeg besar". Begitu inti berita yang saya dengar dari sebuah media masa dan situs resmi Pemkab Demak. Kabar itu kok tercium di hidung saya berbau bau komersialisasi ya.. Tapi entah dengan hidung anda, apakah juga mencium bau yang sama?
Apakah itu salah? Saya nggak akan bilang salah atau benar. Toh uangnya juga ke kas negara sebagai pos penerimaan PAD Kabupaten Demak. Nanti manfaatnya kembali ke masyarakat.
Sekali lagi tidak ada kata salah atau benar. Hanya saja ketika motif ekonomi mengankangi sebuah event budaya perlu diwanti-wanti saja. Jangan sampai sisi kerakusan kapitalis menggerogoti sedikit demi sedikit ke sakralan sebuah event budaya.
Kalo kita lihat sejarah tradisi Grebeg besar di Demak, Tradisi ini merupakan tradisi yang ada pada zaman wali songo di mana pada waktu itu, di lingkungan Masjid Agung Demak di selenggarakan keramaian yang disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga. Keramaian itu kini dikemas dalam suatu even yang di sebut dengan Gerebeg Besar.
Saya ingin menggaris bawahi kalimat "disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga". Kalimat ini menurut saya sebagai pakem pokok yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar dalam penyelenggaraan even Gerebeg Besar. Jika dilanggar, bukan Gerebeg Besar lagi namanya, dan seharusnya penyelenggara malu menisbatkan atau mengakui kalo tradisi ini warisan wali songo.
Demak Bergoyang
Suatu hari dalam perjalanan berangkat kerja perhatian saya tersita ke sebuah sepanduk iklan event Grebeg Besar. salah satu isi yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah untuk memeriahkan event tersebut pihak EO akan menghadirkan sejumlah Group Hiburan yang menurut saya penampilannya selama ini 180 derajat bertolak belakang dengan syiar-syiar keagamaan yang di bawa oleh wali songo.
Seharusnya Pihak EO dan pemerintah malu menampilkan group hiburan tersebut di event yang membawa label syiar islam. Pembiaran dan tindakan tutup mata oleh pemerintah dapat diartikan pemerintah merestui pertunjukan hiburan itu. Dan tidak menutup kemungkinan pada penyelenggaraan di tahun-tahun mendatang pihak EO akan selalu menampilkannya karena dipandang bisa mendongkrak pendapatan. Dan pada akhirnya akan menjadi ciri khas event Gerebeg Besar.
Itulah kenapa saya tidak heran ketika saya berkunjung ke Youtube dan mengetik kata kunci "demak" yang muncul bukannya syiar - syiar keagamaan seperti yang di bawa oleh wali songo, akan tetapi pertunjukan demak bergoyang. Ke-wali-an Kota Wali menjadi dipertanyakan.
Melalui tulisan ini saya memohon pada pemerintah selaku ulil amri agar syiar - syiar keagamaan yang ada dalam event Gerebeg besar agar dijaga dan tidak dikotori dengan acara-acara yang bertolak belakang dengan syiar-syiar agama yang dibawa oleh wali songo.
Refensi:
Gencarnya pemerintah menggenjot sektor pariwisata akhir-akhir ini turut membuka sedikit demi sedikit ruang-ruang yang tadinya haram bagi motif ekonomi untuk bisa dimasuki agenda agenda kapitalis. Hal ini juga di-makmum-i oleh masyarakat dengan wacana-wacana peningkatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di mana salah satu ide kreatifnya dengan cara bagaimana me-monetize kebudayaan.
Lilitan dan jerat kesulitan ekonomi memberi stempel sah atas tindakan tersebut. Dan masyarakat yang tertekan ekonominya merasa mendapat angin segar karena beban berat di pundaknya bisa terangkat. Sehingga hal ini menjadi mafhum dan wajar - wajar saja bagi masyarakat serta tidak ada yang salah. Ya tidak ada yang salah sepanjang itu untuk kepentingan dan kebaikan masyarakat.
Dalam istilah biologi jaman SMP dulu saya pernah mendengar istilah "simbiosis mutualisme", saya mengartikannya "kerjasama saling menguntungkan". Itu istilah yang saya pakai untuk menggambarkan komersialisasi budaya. Jika anda punya istilah yang tepat, kasih tahu saya ya... kenapa saya katakan simbiosis mutualisme? Kita tentu sering mendengar bahwa banyak hasil seni budaya dan tradisi yang ada di masyarakat kian terkubur. Banyak yang dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat. Beruntung ada kapitalis dengan motif ekonominya menjadi dewa penyelamat agar tradisi, seni, dan budaya itu tetap hidup. Ya ... budaya menjadi tetap hidup karena motif ekonomi bisa masuk di dalamnya. Dan ketika tradisi, seni dan budaya dipandang tak bisa bermanfaat secara ekonomi, ya tamatlah..
Benarkah hal itu akan selalu menjadi "simbiosis mutualisme"? menurut saya itu tergantung sejauh dan sekuat apa masyarakat mengawalnya. Sebab kecenderungan rakus yang dimiliki oleh kapitalis dan potensi nafsu yang ada pada masyarakat bisa mendorong ke arah yang buruk bagi masyarakat. Tradisi, seni, dan budaya identik dengan pemenuhan kebutuhan psiko sosial dan spiritual. sementara ekonomi cenderung ke arah materialistik. Dimana mengawinkan keduanya adalah hal yang sulit, satu sama lain saling mengendalikan. Celakanya akhir akhir ini motif ekonomi cenderung menguasai. Tak jarang demi mendongkrak keuntungan ekonomi, mengorbankan pakem-pakem pokok dan tujuan mulia sebuah tradis dan budaya sehingga kebutuhan masyarakat dalam aspek psikososial dan spiritual terabaikan. Caranya dengan apa yang disebut improvisasi, kreatifitas, dan inovasi. Hal itu bisa kita lihat di sekitar kita.
Gerebeg Besar
Gerebeg Besar salah satu tradisi yang selalu dibangga - banggakan oleh masyarakat Demak, sepertinya tidak luput dari "komersialisasi"."Pihak EO harus setor sekian ratus juta ke pemerintah kalo mau mengelola pasar rakyat grebeg besar". Begitu inti berita yang saya dengar dari sebuah media masa dan situs resmi Pemkab Demak. Kabar itu kok tercium di hidung saya berbau bau komersialisasi ya.. Tapi entah dengan hidung anda, apakah juga mencium bau yang sama?
Apakah itu salah? Saya nggak akan bilang salah atau benar. Toh uangnya juga ke kas negara sebagai pos penerimaan PAD Kabupaten Demak. Nanti manfaatnya kembali ke masyarakat.
Sekali lagi tidak ada kata salah atau benar. Hanya saja ketika motif ekonomi mengankangi sebuah event budaya perlu diwanti-wanti saja. Jangan sampai sisi kerakusan kapitalis menggerogoti sedikit demi sedikit ke sakralan sebuah event budaya.
Kalo kita lihat sejarah tradisi Grebeg besar di Demak, Tradisi ini merupakan tradisi yang ada pada zaman wali songo di mana pada waktu itu, di lingkungan Masjid Agung Demak di selenggarakan keramaian yang disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga. Keramaian itu kini dikemas dalam suatu even yang di sebut dengan Gerebeg Besar.
Saya ingin menggaris bawahi kalimat "disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga". Kalimat ini menurut saya sebagai pakem pokok yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar dalam penyelenggaraan even Gerebeg Besar. Jika dilanggar, bukan Gerebeg Besar lagi namanya, dan seharusnya penyelenggara malu menisbatkan atau mengakui kalo tradisi ini warisan wali songo.
Demak Bergoyang
Suatu hari dalam perjalanan berangkat kerja perhatian saya tersita ke sebuah sepanduk iklan event Grebeg Besar. salah satu isi yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah untuk memeriahkan event tersebut pihak EO akan menghadirkan sejumlah Group Hiburan yang menurut saya penampilannya selama ini 180 derajat bertolak belakang dengan syiar-syiar keagamaan yang di bawa oleh wali songo.
Seharusnya Pihak EO dan pemerintah malu menampilkan group hiburan tersebut di event yang membawa label syiar islam. Pembiaran dan tindakan tutup mata oleh pemerintah dapat diartikan pemerintah merestui pertunjukan hiburan itu. Dan tidak menutup kemungkinan pada penyelenggaraan di tahun-tahun mendatang pihak EO akan selalu menampilkannya karena dipandang bisa mendongkrak pendapatan. Dan pada akhirnya akan menjadi ciri khas event Gerebeg Besar.
Itulah kenapa saya tidak heran ketika saya berkunjung ke Youtube dan mengetik kata kunci "demak" yang muncul bukannya syiar - syiar keagamaan seperti yang di bawa oleh wali songo, akan tetapi pertunjukan demak bergoyang. Ke-wali-an Kota Wali menjadi dipertanyakan.
Melalui tulisan ini saya memohon pada pemerintah selaku ulil amri agar syiar - syiar keagamaan yang ada dalam event Gerebeg besar agar dijaga dan tidak dikotori dengan acara-acara yang bertolak belakang dengan syiar-syiar agama yang dibawa oleh wali songo.
Refensi:
Iya, semoga budaya tersebut (grebeg besar) tetap menjadi sebuah tradisi sakral yang tidak bergeser ke arah entertaint 100 persen;
BalasHapusTo Mas bro: Amien..
BalasHapusiya, semua harus banyak bercermin kembali pada kemurnian sejarah bangsa...
BalasHapusBli Putu : sayangnya banyak di antara kita mungkin termasuk saya yang meninggalkan sejarah..
BalasHapusSemoga tradisi ini terus diwarisi generasi muda Demak. Salut!
BalasHapus@dari: amin...
BalasHapushmmm..., seharusnya penggaLian dan pageLaran untuk mengadakan event tersebut dapat disikapi dengan bijak oLeh Pemda setempat. merupakan suatu rangkaian acara sebagai wujud penghargaan terhadap keanekaragaman budaya yang patut untuk dijaga peLestarianya.
BalasHapussangat ironis yah kondisinya.
Kadang kita terlena dengan kemajuan zaman sehingga melupakan sejarah yang ada, terima kasih mas...saya tersentuh banget
BalasHapusharap di update trus ya beritanya,,,
BalasHapus@ Mas Ihsan :
BalasHapuskabar yang mengejutkan bagi saya, baru beberapa hari kita interaksi tapi ada kondisi Lain yang mengharuskan kita untuk tidak jumpa beberapa saat ke depan.
enggak apa, saya bisa memahami haL itu. saLam sukses untuk aktifitasnya di dunia offLine, semoga berjaLan dengan ideaL dan mendapat apa yang dicita2kan. saya tunggu kabar baiknya.
banyak nilai kearifan lokal yang terkandung di balik grebeg besar ini, mas ihsan. demak, saya yakin akan mampu terus mengembangkan dan mengemasnya menjadi lebih eksotis dan menarik, tanpa menghilangkan nilai2 kearifan lokal itu, asalkan pemda, pengusaha, dan masyarakat pemangku budayanya bisa saling bersinergi.
BalasHapusgrebeg besar, ritual yang sakral mengandung nilai syiar Islam ? saya kira sudah tidak lagi ya, nih yang ada :
BalasHapusa. komersialisasi tanpa nurani.
b. ajang maksiat ( ada goyang syuuurr, ada copet, ada senggal senggol yg megarah pelecehan, ada copet, ada kelompok preman dipakai sebagai jasa eo, ada preman palak pedagang, parkir sepeda motor paling mahal sedunia, kawasan tembiring pastinya tidak aman dan kumuh , efek sosial lainnya )
sarannya hal tsb. bisa di antisipasi bersama, satpol bisa dilibatkan penertibannya, aparat polisi terlibat cegah rawan kejahatan dan rawan sosial lainnya, pemda bisa lebih menghiasi even bernilai sakral dan syiar ( kerjasama dengan ulama ) disinilah perlunya kerjasama antar masyarakat yg baik, selama ini kerja sama mungkin hanya batas retorika, mari ke depan demak......................
semoga pemuda demak tdak terlena dengan kemajuan zaman sehingga mlupakn adat istiadat dri nenek moyang
BalasHapusada artikel tentang tradisi tawuran nasi gak yah??
BalasHapusGrebeg besar sekarang mah jauh dari Syiar Islam tidak seperti zaman dulu terutama bagian pasar grebeg besarnya, isinya cuma hiburan duniawi semata, Jd males datang lagi ...........
BalasHapusTerimakasih gan infonya...
BalasHapusMaaf sekedar kasih info penting saja.